BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) pada waktu akhir ini
sedang ramai dibicarakan mengenai obat untuk pengobatan hipertensi. Walaupun
obat ini sudah agak lama beredar di pasaran luar negeri, namun di Indonesia termasuk relatif baru.
Pada tahun 1999, WHO-ISH Guidelines for
Initiation of Antihypertensive Treatment, telah merekomendasikan 6 kelas
antihipertensi yang dapat langsung diberikan secara individual, baik secara
sendiri-sendiri maupun secara kombinasi, ialah : Diuretik, Beta-blocker, ACE
inhibitor, Ca-antagonist, Alpha-blocker, Angiotensin II Receptor Blocker. Dari
pertemuan Internasional Forum on
Angiotensin Receptor Antagonism, Monte Carlo 1999 juga telah diambil
kesepakatan, bahwa obat antihipertensi yang ideal hendaknya memenuhi
syarat-syarat Once daily, Smooth anti
hypertensive effect, Beneficial cardiovascular effect independent of blood
pressure lowering.
Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) dalam hal ini nampaknya
memenuhi syarat-syarat di atas. Cara kerja ARB adalah dengan cara memblokade
secara selektif pada ikatan
angiotensin II dengan reseptornya yang terdapat pada target organ, sehingga effek Angiotensin
II akan dihambat oleh obat ARB. Oleh karena itu perlu mengetahui lebih jauh
mengenai obat ini sehingga penggunaannya dapat tepat mengenai sasaran tanpa
atau sedikit menimbulkan efek samping yang merugikan.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang dibahas dalam
makalah ini yaitu :
1. Bagaimanakah
sejarah penemuan obat Angiotensin II Receptor Blocker ?
2. Bagaimanakah
struktur obat Angiotensin II Receptor Blocker ?
3. Bagaimanakah
karakteristik dari obat Angiotensin II Receptor Blocker ?
4. Bagaimanakah
mekanisme kerja obat Angiotensin II Receptor Blocker terhadap reseptor ?
5. Bagaimanakah
hubungan struktur dengan aktivitas dari Angiotensin II Receptor Blocker ?
C. TUJUAN
Tujuan
dalam makalah ini yaitu :
1. Mengetahui
sejarah penemuan obat Angiotensin II Receptor Blocker
2. Mengetahui
struktur obat Angiotensin II Receptor Blocker
3. Mengetahui
karakteristik dari obat Angiotensin II Receptor Blocker
4. Mengetahui
mekanisme kerja obat Angiotensin II Receptor Blocker terhadap reseptor
5. Mengetahui
hubungan struktur dengan aktivitas dari Angiotensin II Receptor Blocker.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PENEMUAN OBAT ANGIOTENSIN II RECEPTOR BLOCKER
Sejak lebih kurang 100 tahun yang
lalu, dengan ditemukannya renin, Tigerstedt dan Bergman mulai membahas hubungan
hipertensi dengan ginjal. Percobaan Goldblatt (1934) menunjukkan bahwa
hipertensi dapat diinduksi dengan melakukan unilateral clamp arteri renalis.
Tahun 1940 ditemukan pressor agent yang sebenarnya berperan dalam rangkaian
renin, yang kemudian diberi nama Angiotensin. Kemudian berhasil diidentifikasi
dua bentuk angiotensin yang dikenal, yaitu Angiotensin I dan Angiotensin II.
Enzim yang mengubah angiotensin I
menjadi angiotensin II disebut dengan Angiotensin
Converting Enzyme (ACE). Rangkaian dari seluruh sistem renin sampai dengan
angiotensin II inilah yang dikenal dengan Renin-Angiotensin-Aldosteron
System (RAS). Para ahli mengatakan bahwa RAS berperan penting dalam
patogenesis hipertensi baik sebagai salah satu penyebab timbulnya hipertensi
maupun dalam perjalanan penyakitnya. Sejak tahun 1980 hingga 1990 penelitian
tentang RAS berkembang sangat pesat, terutama setelah ditemukan sistim RAS
general (Circulating RAS) dan sistim
RAS lokal (Tissue RAS), adanya
berbagai tipe Reseptor Angiotensin II di jaringan beserta segala efeknya,
obat-obat penghambat ACE yang dikenal dengan ACE Inhibitor dan obat-obat yang
memblokir efek Angiotensin II pada reseptor Angiotensin II yang disebut
Angiotensin Receptor Blocker (ARB).
Ada tujuh jenis ARB yang tersedia
untuk penggunaan klinis
di seluruh
dunia. Meskipun
beberapa jenis peptida dari ARB telah disintesis sejak
tahun 1970, permasalahan telah terjadi karena bioavailabilitas rendah,
durasi
kerja
pendek, dan
aktivitas agonistik parsial.
Obat-obat ARB yaitu losartan, telmisartan, irbesartan, candesartan, valsartan,
eprosartan, dan olmesartan. Losartan merupakan senyawa imidazol-tertrazol ARB
pertama yang dipasarkan pada tahun 1994. Obat-obat lainnya dari kelompok sartan
ini yang tersedia yaitu valsartan pada tahun 1996 adalah derivat dengan sifat
yang kurang lebih sama, irbesartan, candesartan , dan eprosartan pada tahun
1997, telmisartan pada tahun 1998 dan olmesartan pada tahun 2001.
B. STRUKTUR DASAR ANGIOTENSIN RECEPTOR II BLOCKER
Kebanyakan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) memiliki struktur molekul umum (bifenil-tetrazol
dan kelompok imidazol). Non-peptidergic ARB losartan adalah
yang pertama dikembangkan berdasarkan imidazol
analog, dan dirancang oleh komputasi
modeling. Berbagai ARB telah ditingkatkan
dikembangkan sejak losartan. Misalnya, kelompok klorida pada
losartan diubah menjadi sebuah kelompok cyclopenthyl
untuk memberikan irbesartan. Olmesartan mengandung
kelompok hidroksil selain α-karboksil
kelompok pada cincin imidazol. Sejak ARB meniru
Angiotensin II, sebagian besar, termasuk losartan, memiliki kesamaan
struktur molekul, dan jelas bahwa
ARB memiliki kelas efek.
Struktur
dasar obat ARB yaitu :
|
|
Struktur molekul dari obat-obat ARB yaitu sebagai
berikut:
C. KARAKTERISTIK ANGIOTENSIN II RECEPTOR BLOCKER
Angiotensin
II Receptor Blocker (ARB) merupakan kelompok obat yang memodulasi sistem RAS
dengan cara menginhibisi ikatan angiotensin II dengan reseptornya. ARB secara
selektif berikatan dengan tempat reseptor angiostensin II pada otot polos
vascular pada kelenjar adrenal untuk menghambat vasokontriksi pada pelepasan
aldosteron. Aksi ini menghambat efek peningkatan tekanan darah oleh sistem
rennin-angiostensin dan menurunkan tekanan darah. Obat ini diindikasikan untuk
penggunaan tunggal atau terapi kombinasi pengobatan hipertensi.
Golongan
ARB digunakan untuk menangani pasien dengan hipertensi, terutama terhadap
pasien yang intoleransi dengan terapi ACE inhibitor. Keunggulan ARB dibanding
ACE inhibitor adalah ARB tidak menghambat penguraian bradikinin dan kinin lain,
sehingga tidak menimbulkan batuk atau angioedem yang dipicu bradikinin.
Akhir-akhir ini, mulai dikembangkan penggunaan ARB pada gagal jantung bila
terapi menggunakan ACE inhibitor menemui kegagalan, terutama dengan
Candesartan. Irbesartan dan losartan juga menunjukkan keuntungan pada pasien
hipertensi dengan diabetes tipe II, dan terbukti menghambat secara bermakna
progresivitas nefropati diabetik. Candesartan juga telah diuji coba secara
klinis dalam mencegah dan mengatasi migrain.
Spesifikasi
penggunaan ARB berdasarkan efektivitasnya dalam menghambat ikatan angiotensin
II dan reseptornya dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mempertimbangkan
golongan mana yang dapat dipilih. Terdapat 3 parameter penggunaan ARB, yaitu
menurut efek inhibisi dalam 24 jam, tingkat afinitasnya terhadap reseptor Angiotensin
Tipe 1 (AT1) dibanding Angiotensin Tipe 2 (AT2), dan waktu paruh obat.
a. Efek
inhibisi selama 24 jam merupakan ukuran penting terkait dengan jumlah atau
besar angiotensin II yang dihambat selama 24 jam. Berdasarkan FDA USA, beberapa
ARB dan efek penghambatan terhadap angiotensin, yaitu:
Valsartan 80 mg 30%
Telmisartan 80 mg 40%
Losartan 100 mg 25-40%
Irbesartan 150 mg 40%
Irbesartan 300 mg 60%
Olmesartan 20 mg 61 %
Olmesartan 40 mg 74%
b. Afinitas
ARB terhadap reseptor AT1 dibanding AT2 merupakan pertimbangan penting, karena
kedua reseptor ini memiliki kerja yang saling berlawanan. Semakin kuat afinitas
ARB terhadap AT1 dibanding AT2, maka efek antihipertensi juga akan semakin
meningkat. Berdasarkan FDA US, beberapa ARB dan afinitasnya terhadap reseptor
AT1 dibanding AT2, yaitu:
Losartan 1000 kali
Telmisartan 3000 kali
Irbesartan 8500 kali
Olmesartan 12500 kali
Valsartan 20000 kali
c. Waktu
paruh ARB juga penting dipertimbangkan sebagai dasar terapi. Waktu paruh
merupakan indikator seberapa lama obat memiliki efek yang signifikan di dalam
tubuh. Beberapa ARB dan waktu paruhnya, yaitu:
Valsartan 6 jam
Losartan 6-9 jam
Irbesartan 11-15 jam
Olmesartan 13 jam
Telmisartan 24 jam
Semua ARB diharapkan untuk losartan sangat
selektif untuk reseptor AT1. Bahkan,
ARB menunjukkan afinitas 10.000-30.000 kali lebih besar untuk
reseptor AT1
daripada reseptor AT2.
Selektivitas tinggi ini menyiratkan
bahwa reseptor AT2 dapat terkena konsentrasi yang lebih tinggi dari Angiotensin II karena renin angiotensin-umpan balik setelah pengobatan ARB.
Angiotensin
II merangsang stimulasi reseptor
AT2 jelas dapat menyebabkan proliferasi anti-sel dan vasodilatasi.
ARB diabsorpsi
dengan baik dan mengalami metabolisme di hati oleh sistem P450 sitokrom. ARB
diekskresikan melalui feses dan urine. Diketahaui menembus plasenta, ARB
terbukti berkaitan dengan abnormalitas janin yang serius dan bahkan kematian
jika diberikan kepada wanita hamil trimester kedua atau ketiga.
D.
MEKANISME
KERJA ANGIOTENSIN II RECEPTOR BLOCKER TERHADAP RESEPTOR
Angiotensin
II (Ang
II) adalah peptida efektor utama
dari renin-angiotensin
system (RAS), mengikat dua subtipe reseptor yaitu reseptor Ang II tipe 1 dan tipe 2 (AT1 dan AT2), yang merupakan anggota
G protein-coupled superfamili reseptor
(GPCRs). Angiotensin II adalah octapeptide yang mengikat reseptor AT1,
yang berisi 359 asam amino dan memiliki
massa molekul 4 kDa, oleh empat interaksi utama yang
unik. Dua jembatan garam, salah satu di antara
Ang II rantai samping Arg dan residu Asp AT1
dan yang lainnya antara Ang II α-COOH kelompok
Phe8 dan AT1 residu Lys, mungkin penting
untuk docking hormon ke reseptor. iIteraksi jembatan garam tidak berperan dalam AT1
aktivasi reseptor. Selain itu, Miura
et al. telah mrnunjukkan bahwa dua interaksi penting, salah satu di antara Phe
pada Ang II dan His di reseptor AT1 dan lainnya
antara Ang II Tyr dan Asn, diperlukan untuk
mengaktifkan reseptor.
Angiotensin
II Receptor Blocker (ARB) merupakan kelompok obat yang memodulasi sistem RAS
dengan cara menginhibisi ikatan angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada
reseptor AT1 secara spesifik. Semua kelompok ARB memiliki afinitas yang kuat
ribuan bahkan puluhan ribu kali lebih kuat dibanding angiotensin II dalam berikatan
dengan reseptor AT1. Akibat penghambatan ini, maka angiotensin II tidak dapat
bekerja pada reseptor AT1, yang secara langsung memberikan efek vasodilatasi,
penurunan vasopressin, dan penurunan aldosteron. Selain itu, penghambatan
tersebut juga berefek pada penurunan retensi air dan Na dan penurunan aktivitas
seluler yang merugikan (misalnya hipertrofi). Sedangkan Angiotensin II yang
terakumulasi akan bekerja di reseptor AT2 dengan efek berupa vasodilatasi,
antiproliferasi. Sehingga pada akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja
sinergistik dengan efek hambatan pada reseptor AT1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar